“Maaf,Bu.Ada…ada yang salah lagi dengan pekerjaan saya Bu?”Suara lirih akhirnya muncul juga dari mulut mungil Inayah,setelah sekian detik terkejut melihat kemarahan bu Siska.
“Ya!Mengapa daftar rincian harga perkiraan barang yang kamu tulis pada rencana anggaran belanja koperasi adalah perbiji,bukan perdosin!” Bentak bu Siska kepada Inayah.
Siang yang panas itu Inayah segera SMS ke bu Lidia,staf pemasaran yang bertugas membuat daftar harga penawaran barang di UD Jaya Abadi.Inayah bermaksud mohon bantuan kepada bu Lidia agar sudi meralat daftar perkiraan harga barang yang seharusnya ditulis perdosin tersebut. Perut Inayah mulai melilit diserang rasa lapar yang demikian sangat. Namun bu Lidia tak juga membalas SMS Inayah. Ia segera memencet tombol HPnya untuk menelepon bu Lidia.Berulang kali ia mencoba menghubungi nomor HP bu Lidia,tapi tidak diangkat-angkat. Bertambah gundahlah hati Inayah saat itu.Rasa lapar pada perutnya hilang seketika itu juga, berganti rasa gundah gulana.
Di pagi yang cukup cerah, Inayah uluk salam memasuki ruang kantor guru. Bu Siska membalas salam Inayah dengan wajah masam. Sementara guru yang lainnya berwajah ceria bersiap-siap mau mengajar sesuai jadwal kelas masing-masing. Kali ini Inayah mengajar di kelas I B jurusan administrasi. Inayah seorang guru muda yang ramah dan sabar. Dia berusaha untuk selalu mengerti keinginan murid-muridnya di SMK Negeri X, tempat ia mengajar. Murid-murid remaja memang selalu mendambakan guru yang dapat mendampingi mereka dalam belajar secara enjoy namun pasti.
Inayah sudah lulus sebagai CPNS di SMK Muhammadiyah VII, dan baru saja mendapat SK PNS setelah satu tahun bertugas di SMK Negeri X ini.
Tak terasa bel istirahat berbunyi. Inayah segera menghadap bu Siska, kepala jurusan Akutansi. Inayah menjelaskan bahwa ia sudah berusaha menghubungi bu Lidia lewat telepon tapi tidak diangkat-angkat. Namun bu Siska tak ambil perduli dengan penjelasan Inayah. Bu Siska tetap menyalahkan Inayah dan sama sekali tak memberikan saran atau sollusi kepada Inayah.
Saat itu pula Inayah minta ijin ke bu Siska untuk menemui bu Lidia ke UD Jaya Abadi. Sampai di sana, sungguh di luar dugaan Inayah. Inayah disuguh muka masam oleh bu Lidia. Ternyata bu Lidia memang memiliki karakter angkuh dan sulit diajak kerja sama.
“Ini kan pekerjaan Bu Inayah, bukan tugas saya. Bu Mira tak pernah salah seperti Anda!” Kata bu Lidia agak membentak. Seperti diterpa badai kata-kata bu Lidia menusuk hati Inayah. Baru kali ini Inayah menemui dua wanita yang bersikap kasar kepadanya. Bu Siska dan bu Lidia.
Inayah kembali ke sekolah. Saat di kantor guru, ia mendengar bu Siska berucap “Tak bisa apa-apa kok jadi PNS ya!” Mendengar hal itu terang saja wajah Inayah berubah total memerah. Bukan karena malu bertemu pacar melainkan karena sakit bagai ditusuk sembilu. Inayah merasa ucapan bu Siska itu ditujukan kepada dirinya, walaupun bu Siska tidak sedang berhadapan dengan dirinya. Bu Siska duduk di kursi tamu bersama tiga orang guru lainnya, satu pria dan dua wanita.
Inayah tak habis pikir. Mengapa kesalahannya yang sepele itu, bu Siska publikasikan ke mana-mana. “Apa dosa dan salahku ya Allah?Aku tahu saat ini Engkau sedang mengujiku. Ya Allah berilah hamba ketabahan dan kesabaran.” Inayah menitikkan air mata dan segera ia hapus dengan jemari tangannya yang lentik ketika pak Bram berdehem mengagetkan lamunannya.
“Bu Inayah tadi ke mana, kok saya lihat saat istirahat tadi ke luar naik motor?” Tanya pak Bram dengan senyum ramahnya.
“Oh tadi saya ke UD Jaya Abadi sebentar.” Jawab Inaya pelan.
“Repot ya Bu ngurusin koperasi. Dulu bu Mira yang sibuk ke sana kemari ngurusi koperasi sekolah kita. Sekarang bu Mira melahirkan, cuti dua bulan. Besok jika bu Mira sudah selesai cuti, bu Inayah agak ringan kok. Yang sabar ya Bu menghadapi bu Siska.” Demikian ucap pak Bram lirih kepada Inayah. Memang pak Bram itulah guru pria yang paling dekat dengan Inayah dibanding guru lainnya.
Inayah sedikit lega mendengar kata-kata pak Bram barusan.
Bulan berganti bulan Inayah mengajar di SMK Negeri X dengan sabar dan tabah. Meskipun Inayah sangat tidak simpati dengan karakter bu Siska. Ia berusaha untuk selalu menghormati beliau sebagai orang yang lebih tua dari dirinya.
Kali ini Inayah mendapat teguran untuk ke sekian kalinya dari bu Siska.
“Mengapa murid kita si Sania tidak jadi ikut lomba kewirausahaan? Anda selaku guru pembimbing Sania tidak pernah membuat jadwal bimbingan kecuali hanya satu kali pertemuan!” Kata bu Siska agak keras.
“Ya Bu. Maaf memang Sania dan saya hanya bisa mengadakan pertemuan satu kali untuk pembimbingan. Untuk yang lainnya waktu Sania habis dipakai untuk latihan paduan suara, basket, nari, karawitan, dan persiapan lomba cepat tepat matematika. Semua waktu Sania habis untuk persiapan lomba-lomba tersebut. Sudah jauh-jauh bulan dalam rapat dulu saya mengajukan usul agar yang mengikuti lomba kewirausahaan bukan Sania, melainkan diberikan kepada murid yang lainnya saja. Supaya murid yang lain bisa merasakan kesempatan dan pengalaman seperti Sania untuk tampil ke luar.” Inayah kembali mengingatkan usulannya dulu yang tidak ditanggapi secara positif.
”Alah sudah … sudah…! Kamu malah ngajak berdebat ya. Sudah tidak bertanggung jawab malah mau menyalahkan saya ! Kan kamu yang ditunjuk jadi pembimbing Sania dalam lomba kewirausahaan itu! Seharusnya kamu pandai menyesuaikan waktu Sania agar semua dapat berjalan dengan lancar.” Kata bu Siska kesal dan langsung meninggalkan Inayah duduk di kursi kerjanya.
Inayah termenung dalam sepinya malam. Di teras rumahnya yang asri , Inayah duduk membisu. Hanya suara jangkrik dan katak yang asyik bersenda-gurau di taman depan rumahnya. Tiba-tiba HP di meja teras dekat kursi duduknya berdering kencang mengejutkan keheningan hatinya. Inayah melirik nama yang muncul di layar HPnya. Namun hanya tersenyum kecil, dan tangannya tak beranjak sedikitpun dari dekapan dadanya.
Hari ini Inayah mendapat tugas menghadiri rapat MGMP guru SMK tingkat propinsi. Inayah menggantikan bu Ratmi yang empat bulan lagi akan pensiun. Inayah agak canggung melangkahkan kaki menuju aula SMKN IV. Bukan karena kurang percaya diri, melainkan karena ia harus satu atap dan satu ruangan dengan bu Siska dalam rapat pemilihan pengurus MGMP sekolah SMK tingkat propinsi. Dalam rapat itu Inayah terpilih sebagai koordinator bidang kewirausahaan. Karena beberapa wakil dari SMK lainnya telah dipilih menjadi koordinator bidang lainnya. Dengan berat hati mau tak mau Inayah harus menerima keputusan rapat. Padahal itu bukan bidang jurusannya.
Memang benar ia ditugasi mengajar mata pelajaran kewirausahaan di sekolah tempat ia bertugas, walaupun sebenarnya Inayah lulusan sarjana pendidikan dunia usaha dengan program studi administrasi perkantoran. Hal itu dikarenakan mata pelajaran administrasi sudah diampu oleh guru lain yang sudah bersertifikasi.
Terang saja bu Siska tersenyum sinis mengikuti keputusan rapat. Bu Siska menjabat sebagai bendahara di pengurus MGMP tingkat propinsi itu. Tampak beberapa guru yang duduk berdekatan dengan bu Siska bisik-bisik dan tersenyum sinis memandang Inayah. Inayah jadi tak nyaman perasaannya. Ia merasa dibodoh-bodohkan oleh bu Siska dan beberapa guru yang hadir di aula itu.
“Pasti bu Siska sangat tidak percaya dengan kemampuanku.” Bisik Inayah dalam hati.
Mau tak mau Inayah menikmati pemandangan senyum sinis para guru yang memandangnya. “Ya Allah ujian apa lagi yang Engkau berikan kepada hambaMu ini? Hamba merasa tak sanggup menjadi koordinator kewirausahaan tingkat propinsi ini. Karena bu Siska telah mempublikasikan kesalahan-kesalahan kecilku ke mana-mana. Ia tak sedikitpun mendukung keberadaanku. Ya Allah berilah hamba kekuatan.” Bisik batin Inayah menjerit.
“Di sekolah sendiri tidak becus, eh bisa-bisanya jadi koordinator tingkat propinsi.” Kalimat itu terdengar jelas dari mulut bu Siska di ruang UKS, ketika Inayah melangkah menuju ruang guru. Karena ruang UKS tidak jauh dari ruang guru.
Inayah tidak dapat tidur nyenyak dan tidak punya nafsu makan. Ia meratapi nasibnya yang selalu tersiksa oleh sikap kasar dan sinis bu Siska terhadapnya.
Malam itu Inayah jalan-jalan ke toko buku Gramedia, demi mengusir rasa sedihnya. Sangat terbayang jelas dalam ingatannya, di sinilah ia pertama kali bertemu dengan kekasihnya.
Malam itu bu Siska mencoba membuka pembicaraan sambil menikmati bakso. “Ziz, akhir-akhir ini ibu lihat kamu sering murung. Ada apa sebenarnya dengan dirimu? Mungkin ibu bisa sedikit membantumu?” Kata bu Siska.
“Ya Bu.Pacarku sulit sekali kutemui.Tiap aku ke rumahnya, dia tak ada di rumah. Dan ibu tahu sendiri kan? Aku sering tugas ke luar kota. Tiap kuhubungi HPnya, tak pernah ia angkat. Pernah aku ke tempat kerjanya yang dulu di SMK Muhammadiyah VII. Tapi temannya tak mau memberi informasi tempat kerjanya yang baru. Karena temannya sudah berjanji tidak akan memberitahukanku.” Kata Aziz murung.
“Siapa nama pacarmu?” Tanya bu Siska ingin tahu.
“Panggilannya Kesih. Sukesih lengkapnya, Bu. Hanya satu yang ia tulis untukku lewat SMS. Begini tulisannya, SEBELUM AKU MENJADI GURU YANG DIRINDU OLEH MURID DAN TEMAN SEJAWATKU, AKU BELUM SIAP MENEMUIMU,MAAFKAN AKU. Begitu SMS Kesih ke aku, Bu.” Demikian cerita Aziz kepada ibunya.
“Sabar ya nak. Semoga kalian nanti segera dipertemukan lagi.” Kata bu Siska berusaha menghibur putranya. Dalam hati bu Siska berkecamuk rasa nggak nyaman mendengar isi SMS pacar Aziz. Ia merasa tersinggung sedikit, walaupun makna yang terkandung di dalamnya baik sekali.
Malam itu bu Siska dan Aziz menuju ke counter buku. Aziz memang hobi baca buku. Setiap hari ia tak lupa mengkhatamkan satu buku. Hobi itu ia warisi dari almarhum ayahnya.
Mereka berkeliling melihat-lihat buku yang terpajang di etalase.
“Buuu! Buku ini sangat cocok untuk ibu!” Seru Aziz kepada ibunya sambil mengacungkan sebuah buku. Bu Siska agak kaget melihat Aziz kembali ceria seperti dulu. Ia sangat senang jika putranya tidak lagi murung.
Aziz melangkah mendekati ibunya. “Ini Bu, bukunya. Harus Ibu baca sampai khatam ya. Dua hari aku ke Bandung. Sepulang dari Bandung Ibu harus bisa ceritakan isi buku ini!” Seru Aziz kepada ibunya. Bu Siska membaca judul buku yang diberikan Aziz untuknya. “Guru Yang Dirindu”.
Bu Siska menekuni buku “Guru Yang Dirindu” di ruang kerjanya yang hanya seluas empat meter persegi. Hari ini memang sangat berbeda. Tidak biasanya bu Siska mengurung diri di ruangannya. Apalagi untuk membaca buku. Dia lebih suka membaca surat kabar atau majalah di ruang guru. Atau ngobrol dengan para guru saat istirahat.
Saat bel berbunyi tanda masuk kelas , usai istirahat , bu Siska melangkah menuju ruang kelas II A jurusan Akutansi.
“Selamat siang anak-anak?” Bu Siska memberi salam kepada murid-murid dan berusaha tersenyum semanis mungkin. Terang saja murid-murid ternganga dan cepat-cepat membalas salam bu Siska. Sekian detik mereka terdiam karena heran. Tidak biasanya bu Siska bersikap semanis ini. Biasanya bu Siska langsung memberi tugas kepada salah satu murid untuk menulis soal di papan tulis. Dan murid-murid mengerjakan soal itu di buku tulis masing-masing. Setiap bu Siska mengajar, kelas selalu terkesan kaku dan tegang. Tidak seperti cara mengajar Inayah yang penuh kehangatan dan persahabatan. Metode mengajarnyapun bervariasi. Murid-murid tidak merasa bosan jika diajar Inayah.
Hari ini berbeda sekali. Mungkin karena dampak dari membaca buku “Guru Yang Dirindu” itulah bu Siska jadi berubah 360 derajat.
“Ek… oh selamat siang Bu.” Balas Inayah tergagap merasa kaget seperti bangun dari tidur yang kesiangan, setelah Inayah mengarahkan pandangan di mana sumber suara itu berada. Ternyata bu Siska.
Bu Siska mendekati Inayah. Dan mengajaknya makan siang bersama ke salah satu kafe di Malioboro. Inayah tidak kuasa menolaknya. Karena hatinya penuh tanda tanya yang luar biasa.
“Bu Inayah, saya minta maaf ya selama ini sering bersikap kasar kepada Anda. Perbuatan saya yang telah mempublikasikan kesalahan-kesalahan kecil Anda selama ini sangatlah tidak etis. Setelah sertifikasi seharusnya saya bersikap lebih baik dan lebih baik. Saya bertanggung jawab membimbing Anda sebagai guru muda. Andalah yang akan menggantikan kami selaku guru senior. Menjadi penerus perjuangan kami. Maafkan atas kesalahan-kesalahan saya ya, Bu? Saya guru senior yang tidak bijaksana. Saya malu menyandang sertifikasi, karena aspek sosial saya tidak baik.” Kata kata bu Siska itu muncul dari hati yang paling dalam.
“Sudahlah Bu Siska. Yang berlalu biarlah berlalu. Tidak ada yang perlu dimaafkan. Itu semua karena kesalahan saya juga.” Kata Inayah tak kuat menahan air mata. Air mata kebahagiaan. Keduanya menjadi lega.
“Ya hallo.” Sambut bu Siska.
“Ini Aziz, Bu. Besok sore Aziz sudah sampai di Yogya. Dan malamnya Ibu akan saya kenalkan dengan Kesih. Kesih meneleponku barusan ,Bu.” Suara riang Aziz penuh kegembiraan. Bu Siska tersenyum senang hingga terpejam mata.
“Assalammu’alaikum?” Aziz dan Kesih memberi salam kepada ibunya yang serius membaca halaman terakhir buku “Guru Yang Dirindu” di ruang tamu.
“Wa’alaikum salam.” Balas bu Siska terperangah memandang gadis di hadapannya. Ternyata gadis itu adalah Inayah. Inayah pun tak kalah kaget memandang bu Siska.
“Bu Siska!” Mulut mungil Inayah berseru. Keduanya saling memandang.
“Ternyata kalian sudah saling kenal ya?” Tanya Aziz kaget juga.
“Ya, Inayah guru termuda di sekolah Ibu.” Jawab bu Siska dengan senyum ramah.
“Nama saya Inayah Sukesih, Bu. Biasa dipanggil Kesih di rumah. Dan mas Aziz pun baru tahu saat ini nama lengkap saya itu, Bu.” Inayah menjelaskan.
Kini kebahagiaan lengkaplah sudah mewarnai harai-hari mereka.
Tenaga Pengajar SD N Suryodiningratan II Yogyakarta