Selama ini, manusia cenderung lebih menekankan kecerdasan intelektual (IQ), tanpa mempertimbangkan potensi kecerdasan yang lain dan menganggapnya sebagai satu-satunya kecerdasan yang bisa membawa manusia pada kemajuan. Hal ini justru mengakibatkan terjadinya berbagai kerusakan pada kehidupan manusia.
Kecerdasan ruhaniah akan menuntun manusia untuk bertindak dan bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya kepada Tuhan, manusia, dan alam sekitarnya. Bila saja manusia memiliki kecerdasan ruhaniah, maka krisis yang terjadi saat ini bisa teratasi. Namun tidak semua manusia bisa menumbuhkan dan mengembangkan kecerdasan ini tanpa disertai niat dan usaha yang sungguh-sungguh. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan pelaksanaan ibadah puasa.
Kecerdasan ruhaniah atau Transcendental Intelligence (TQ) adalah kecerdasan yang berpusat pada rasa cinta yang mendalam kepada Allah dan seluruh ciptaan-Nya. Atau kemampuan seseorang untuk mendengarkan hati nuraninya atau bisikan kebenaran yang meng-Ilahi dalam cara dirinya mengambil keputusan atau melakukan pilihan-pilihan, berempati, dan beradaptasi.
Kecerdasan ruhaniah merupakan esensi dari seluruh kecerdasan yang ada, karena berada pada nilai-nilai keimanan kepada Ilahi. Salah satu indikator kecerdasan ruhaniah adalah taqwa. Taqwa atau senses of responsibility, mengandung pengertian tidak hanya sekedar sebagai pengetahuan, namun juga merupakan sebuah dorongan untuk menunjukkan bukti tanggung jawab atas apa yang diketahuinya. Allah SWT telah memerintahkan umat manusia untuk bertaqwa sebagaimana tertuang dalam Al-Qur’an surat Al Ma’idah ayat 93.
II. PUASA SEBAGAI SALAH SATU CARA MENUMBUHKAN KECERDASAN RUHANIAH
Sebagaimana terkandung dalam Al-Qur’an surat Al Ma’idah ayat 93, ada kaitan antara taqwa (tanggung jawab), iman (prinsip), dan amal saleh (achievenebts orientation) yang merupakan indikasi kecerdasan ruhaniah.
Untuk mewujudkan rasa taqwa dan meningkatkan iman, maka manusia harus melakukan satu bentuk amal saleh, yaitu perbuatan yang ditujukan semata-mata untuk Allah dan mengandung nilai-nilai kebaikan. Salah satu bentuk amal saleh yang juga merupakan kewajiban umat islam untuk mengerjakannya adalah puasa.
Puasa merupakan bentuk ibadah kepada Allah yang mengandung pesan moral, tidak hanya masuk ke wilayah pribadi yang bersifat individual dan psikologis, namun juga masuk ke wilayah sosial, politik, ekonomi, dan cultural. Dengan berhenti dari makan, minum, dan menahan segala hawa nafsu yang bisa menggugurkan ibadah puasa, akan menghantarkan umat islam pada sebuah bentuk umat yang saleh dan taqwa. Tetapi, puasa tidak menjamin seseorang pasti menjadi saleh dan taqwa. Hal ini dikarenaka, hasil puasa bergantung pada pengertian dan niat orang yang bersangkutan. Jika seseorang dapat memahami tujuan puasa dan mencoba untuk mencapainya, maka orang tersebut akan menjadi saleh dan taqwa.
Seperti telah disebutkan Allah SWT dalam QS Al Baqarah ayat 183 yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa”.
Puasa termasuk di dalamnya puasa Ramadhan, merupakan pendidikan tingkat tinggi bagi jiwa. Puasa melatih manusia untuk meninggalkan hawa nafsu yang paling kuat yaitu hawa nafsu perut dan hawa nafsu seksual, dengan tujuan mencapai keridhoan Allah SWT. Oleh karena itu, puasa dipandang sebagai tirai dan pelindung bagi orang muslim dari keterjebakan hawa nafsu di atas. Mengenai ibadah puasa ini, Dr. Ali Abdul Mahmud berpendapat bahwa puasa adalah “sekolah” yang lengkap untuk mendidik jiwa, bahkan jiwa dan jasmani sekaligus.
Hal ini dikarenakan, puasa menahan manusia dari segala hawa nafsu (nafsu perut dan seksual), juga menahan penglihatan, pendengaran, lisan, dan semua anggota tubuh dari perbuatan yang memurkai Allah SWT, sebagaimana menahan hati dan jiwa dari berbagai problematika dunia.
Pada hakekatnya, puasa sebagai sarana bagi manusia untuk membentuk dua hubungan, yaitu hubungan dengan Allah SWT (hablun min Allah) dan hubungan dengan manusia (hablun min al-naas). Dikatakan sebagai pembentuk hubungan dengan Allah SWT, karena puasa mengandung tujuan penghambaan seumur hidup kepada Allah SWT. Manusia lahir sebagai hamba Tuhan dan adanya manusia semata-mata untuk beribadah kepada Allah SWT, sebagaimana dalam QS Adz Dzariyat ayat 56 yang artinya “Dan tidaklah Aku (Allah) ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku”.
Adapun sebagai pembentuk hubungan dengan manusia, karena dengan berpuasa manusia dapat merasakan penderitaan kelaparan orang-orang yang miskin. Sehingga dalam diri orang yang berpuasa, tumbuh solidaritas sosial yang tinggi untuk membantu saudaranya yang lain yang menderita kekurangan. Dengan puasa, seseorang dilatih untuk mengontrol dirinya atau dengan kata lain sebagai latihan kesabaran. Kesabaran inilah yang pada akhirnya bisa digunakan untuk menyelesaikan setiap permasalahan yang muncul dengan hati dan pikiran yang tenang, tanpa tercampur dengan sifat emosi seperti yang terjadi saat ini.
Bagaimanapun juga, puasa merupakan sarana untuk membersihkan hati. Sedangkan hati adalah pusat dari kecerdasan ruhaniah yang perlu mendapatkan pendidikan ruhani. Karena dengan hati, Allah ingin memanusiakan manusia, memulyakannya dari segala makhluk ciptaan-Nya dan karena hati pula, manusia membinatangkan dirinya. Terhinpunnya perasaan moral dalam hati manusia, akan mendorong manusia untuk menampilkan bentuk tindakan yang berorientasi pada prestasi (achievement orientation ; amal saleh), sehingga tumbuhlah kecerdasan ruhaniah yang paling awal yaitu kesadaran untuk bertanggung jawab.
Pada akhirnya, ibadah puasa sebagai bentuk pendidikan ruhani yang bertujuan membentuk kecerdasan ruhaniah, akan memberikan pengaruh kepada diri manusia :
pertama, membersihkan dan menjernihkan jiwa seseorang dari sifat skeptisisme, negativisme, dan sikap menyerah.
kedua, membiasakan seseorang mencintai kebaikan dan memprioritaskan kebenaran karena jiwanya telah bertautan dengan Allah SWT.
ketiga, menjadikan seseorang berpegang teguh pada metode yang telah dipilih Allah SWT sebagai agama untuk seluruh manusia.
keempat, mendorong manusia untuk saling mencintai dan berkasih saying dengan sesamanya.
kelima, merupakan sarana bagi seseorang untuk memperoleh taufiq dalam segala perilakunya, baik perkataan maupun perbuatan.
keenam, mengajar seseorang agar tidak melakukan kesalahan dan tidak melanggar ketentuan islam, baik berupa hukum, syariat maupun etika.
ketujuh, membiasakan ruhani seseorang untuk mencintai kebaikan dan membenci keburukan, sehingga selalu siap melakukan amar ma’ruf nahi munkar.
III. TANGGAPAN DAN KESIMPULAN
Pada kehidupan sekarang ini, manusia tidak hanya memiliki kecerdasan intelektual (IQ), akan tetapi juga harus memiliki kecerdasan ruhaniah atau Transcendental Intelligence (TQ).
Salah satu cara untuk mencerdaskan ruhaniah adalah dengan cara berbuat kebaikan dan beramal saleh, salah satunya adalah berpuasa, tentu saja puasa dengan ikhlas semata-mata hanya karena Allah SWT. Karena dengan berpuasa seseorang dapat melatih untuk mengendalikan diri dari hawa nafsu, melatih kesabaran, menumbuhkan solidaritas sosial yang tinggi dan dapat membersihkan hati.
Puasa merupakan pendidikan ruhaniah yang bertujuan untuk membentuk kecerdasan ruhaniah yang dapat mempengaruhi kehidupan manusia, yaitu :
Dapat membersihkan jiwa.
Dapat membiasakan mencintai kebaikan.
Dapat menjadikan manusia berpegang teguh pada agama Allah.
Mendorong manusia mencintai sesama.
Sebagai sarana untuk memperoleh taufiq.
Mengajarkan untuk menjauhi larangan Allah.
Dapat menumbuhkan sikap amar ma’ruf nahi munkar.
Sebagai penutup, dapatlah kita simpulkan bahwa kecerdasan ruhaniah yang dicapai melalui puasa, bertumpu pada ajaran cinta (mahabbah) yang akan melahirkan sebuah kepedulian yang sangat kuat terhadap moral dan kemanusiaan. Orang yang memiliki kecerdasan ruhaniah akan senantiasa tampil sebagai sosok yang penuh moral cinta dan kasih sayang, mencintai dan ingin dicintai karena Allah SWT. Dengan pemilikan dan penguasaan kecerdasan ruhaniah inilah, maka krisis multidimensi termasuk krisis moral dapat teratasi. Dengan kata lain bahwa dengan puasa dapat membentuk pribadi manusia yang bertanggung jawab, penuh cinta kasih, berjiwa sosial, dan penuh taqqorub dan tawadu’ kepada Allah SWT.
Dipetik dari:
Risalah Jum’at, Edisi 36/XI, 10 Ramadhan 1423 H / 15 Nopember 2002 M.
0 komentar:
Posting Komentar